Oleh: Dr. Adian Husaini
BEBERAPA hari menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, Franz Magnis-Suseno SJ,tokoh Katolik terkenal, menyebarkan surat yang mengkhawatirkan jika Prabowo Subianto jadi Presiden RI 2014-2019. Situs www.republika.co.id menyebutkan, bahwa surat itu pertama kali diunggah oleh Mardiyah Chamim, seorang pendukung Jokowi, dalam laman facebook-nya. Surat itu juga dimuat di laman laskarjokowi.com.
Untuk lebih memahami isinya, berikut ini kita kutip sebagian isi surat Franz Magnis-Suseno itu:
Saudara-saudari. Pertama, saya mohon maaf kalau kiriman ini yang jelas berpihak, tidak berkenan, apalagi di masa puasa. Namun beberapa hari sebelum pilpres saya merasa terdorong sharing kekhawatiran saya.
Saya mau menjelaskan dengan terus terang mengapa saya tidak mungkin memberi suara saya kepada Bapak Prabowo Subiyanto. Masalah saya bukan dalam program Prabowo. Saya tidak meragukan bahwa Pak Prabowo, sama seperti Pak Joko Widodo, mau menyelamatkan bangsa Indonesia. Saya tidak meragukan bahwa ia mau mendasarkan diri pada Pancasila. Saya tidak menuduh Beliau antipluralis. Saya tidak meragukan iktikat baik Prabowo sendiri.
Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden? Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo – Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amien Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang. (Baca:Pasien Kanker Ini Berharap Jokowi Jadi Presiden)
Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul.
Mengapa? Saya bertanya: Kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?
Lalu kalimat gawat dalam Manifesto Perjuangan Gerindra: “Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama”. Kalimat itu jelas pertentangan dengan Pancasila karena membenarkan penindasan terhadap Achmadiyah, kaum Syia, Taman Eden dan kelompok-kelompok kepercayaan.
Sesudah diprotes Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Pak Hashim, adik Prabowo, sowan pada Pak Yewangoe dan mengaku bahwa kalimat itu memang keliru, bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus diperbaiki dan sekarang sudah dihilangkan. Akan tetapi sampai tanggal 25 Juni lalu kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra. Bukankah itu berarti bahwa Hashim tidak punya pengaruh nyata atas Gerindra maupun Prabowo?
Terus terang, saya merasa ngeri kalau negara kita dikuasai oleh orang yang begitu semangat dirangkul dan diharapkan oleh, serta berhutang budi kepada, kelompok-kelompok ekstremis yang sekarang saja sudah semakin menakutkan.. .(Jakarta, 25 Juni 2014, Franz Magnis-Suseno SJ (Surat selengkapnya, lihat http://www.kaskus.co.id/thread/53b37873c2cb17e52b8b4586/surat-franz-magnis-untuk-prabowo/).
*****
Dalam CAP kali ini, kita tidak akan membahas masalah tuduhan pelanggaran HAM yang ditimpakan kepada Prabowo, karena sudah teramat banyak penjelasan masalah tersebut, dari berbagai pihak. Prabowo pun selama bertahun-tahun telah mengalami ujian dan penderitaan yang luar biasa terkait kasus tersebut. Karir militernya dipaksa tamat saat berada di posisi puncak. Sebuah apresiasi yang mengharukan terhadap “nasib Prabowo” diberikan seorang cendekiawan yang sebelumnya membencinya, Prayudhi Azwar, melalui laman facebook-nya. (https://www.facebook.com/prayudhi.azwar/posts/10202136541916105).
Akan tetapi, disamping kasus HAM, ada wacana yang lebih serius yang diangkat oleh Pastor Franz Magnis-Suseno SJ, yaitu masalah “Islam garis keras”, “kelompok ekstrim”, dan “isu pemurnian agama”. Di dalam suratnya, Pastor Magnis menyatakan:
“Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden?…Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul. Mengapa? Saya bertanya: Kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?”
Pastor Magnis adalah seorang guru besar (professor) di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sebagai akademisi, sepatutnya, ia membuat kriteria ilmiah dalam memberi cap negatif sebagai “Islam garis keras” dan “kelompok ekstrimis” kepada PKS dan PPP atau FPI. Stigmatisasi negatif akademisi Katolik seperti Franz Magnis terhadap beberapa organisasi Islam tersebut – tanpa didasari kriteria ilmiah – bisa mencederai kapasitas akademisnya dan bisa dipahami sebagai gejala kebencian, kedengkian, dan sikap “Islamofobia” yang berlebihan.
Sikap Pastor Magnis itu juga berbeda dengan sejumlah komentarnya yang bernada simpatik terhadap berbagai kelompok Islam sebelumnya. (lihat http://www.suarapembaruan.com/home/franz-magnis-suseno-radikal-dalam-iman-toleran-pada-sesama/10562, Selasa, 23 Agustus 2011). Dalam situs ini, Pastor Magnis mengaku sebagai orang yang RADIKAL. Ia ditulis sebagai seorang yang akrab dengan sejumlah kiai, ulama, atau tokoh agama lain. Dia dekat dengan tokoh-tokoh intelektual Islam seperti Nurcholish Madjid dan mantan Presiden Abdurahman Wahid. Bahkan ia juga cukup dekat dengan tokoh yang dikenal sebagai garis keras Islam, Ahmad Sumargono.
Bersama sejumlah pendeta, ia pernah berdialog di rumah Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq terkait izin mendirikan gereja.
“Pria yang lahir di desa Eckersdorf, Silesia, Jerman dengan nama Franz Graf von Magnis itu mengaku sebagai sosok yang radikal di dalam iman. Namun, radikalisme yang ia anut tidak membuat dia memandang sinis agama lain. Menurutnya, radikalisme bisa berjalan beriringan dengan sikap terbuka, toleran, atau pluralis. Sebab, radikalisme tidak berarti kekerasan, namun kesediaan seseorang untuk secara penuh atau 100 persen menghayati dan menjalankan imannya.”
Selama ini, Pastor Magnis dikenal cukup bisa berdialog dengan berbagai kalangan Islam, termasuk yang ia sebut sebagai “garis keras”. Tetapi, dalam kasus pilpres 2014, ia seperti dikejar bayang-bayang ketakutan terhadap naiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI 2014-2019, sehingga sang pastor kemudian cenderung partisan dan kehilangan sikap akademis serta kegembalaan (kepastoran)-nya. (Bandingkan dengan Kristen Radikal dan Ekstrim, lihat http://antiliberalnews.com/2014/04/12/bangga-menjadi-kristen-radikal/ dan /kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/10/29/3831/bangkitnya-generasi-kristen-ekstrem.html).
Bagi Muslim Indonesia, sikap Pastor Magnis itu menambah daftar pertanyaan, mengapa para tokoh Katolik begitu kuatnya mendukung Jokowi sebagai Presiden RI? Sebelumnya, pastor Aloysius Budi Purnomo pernah menulis artikel yang memuja Jokowi dan membuat sejumlah persamaan antara Jokowi dengan Jesus. (http://sinarharapan.co/news/read/140417053/Jesus-Jokowi-dan-Keselamatan-Rakyat, 17/4/2014. Kritik terhadap Aloysius, lihat /kolom/catatan-akhir-pekan/read/2014/05/18/21725/antara-jesus-dan-jokowi.html).
Strategi politik Gereja Katolik di Indonesia pernah ditulis oleh Franz Magnis-Suseno:
“Di permulaan Orde Baru banyak orang kita merasa bahwa berhadapan dengan golongan Islam, kita tidak mempunyai pilihan selain mencari perlindungan pada ABRI dan karena itu jangan secara terbuka menjadi oposisi terhadap Pak Harto. Kita menjadi tidak kritis. Tentu sebuah minoritas kecil tidak boleh berlagak oposisi bangsa. Namun, karena itu, kita semakin tergantung dari kebaikan militer yang semakin dapat memanfaatkan kita demi kepentingan politik mereka sendiri, misalnya di Irian dan dalam Operasi Komodo di Timor Timur sebelum invasi Indonesia. Namun, pada waktu gereja-gereja dibakar, dimana militer? Kalau kita mau mantap di Indonesia, maka bukan karena dilindungi oleh militer, melainkan karena berhubungan baik dengan saudara-saudara Muslim sendiri.” (Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 2004:150, dikutip dari buku berjudul Pater Beek SJ, Larut tetapi Tidak Hanyut, Jakarta, 2008:221).
Membandingkan tulisan tersebut dengan isi surat Pastor Magnis tentang Prabowo, tampak Pastor Magnis seperti tidak konsisten. Bahkan, dalam suratnya tentang Prabowo, ia menampilkan dirinya begitu “kalap” dan paranoid, serta nyaris kehilangan nalar akademisnya, dengan menuduh kelompok-kelompok Islam itu sebagai “ekstrimis”. Silakan disimak lagi isi suratnya: “Terus terang, saya merasa ngeri kalau negara kita dikuasai oleh orang yang begitu semangat dirangkul dan diharapkan oleh, serta berhutang budi kepada, kelompok-kelompok ekstremis yang sekarang saja sudah semakin menakutkan.”
Seharusnya, sebagai pastor, Franz Magnis-Suseno tidak semena-mena memberikan tudingan dan cap negatif kepada sejumlah kelompok Islam tersebut. Tudingan “ekstrimis” adalah tuduhan yang sangat serius. Sebab, dalam bahasa Islam kata itu disebut “ghuluw” atau “tatharruf”. Maknanya, adalah tindakan yang melampaui batas-batas ajaran Islam. Karena itu, tuduhan Pastor ini sudah sangat berlebihan.
Sikap Pastor Magnis ini sangat tidak kondusif untuk membangun kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kita membutuhkan iklim kondusif untuk membangun sikap saling paham dan membangun kerjasama antar berbagai pemeluk agama di Indonesia. Bukan dengan cara menabur stigma negatif yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak digunakan istilahnya oleh kelompok-kelompok Islam tersebut. Jadi, lebih baik, Pastor Magnis memperbaiki suratnya tersebut dan mengklarifikasi kepada organisasi atau orang-orang yang disebut dalam suratnya.
*****
Bagian lain isi surat Pastor Magnis yang perlu mendapat perhatian adalah penentangannya terhadap manifesto Partai Gerindra tentang pemurnian agama: “Lalu kalimat gawat dalam Manifesto Perjuangan Gerindra: “Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama”. Kalimat itu jelas bertentangan dengan Pancasila karena membenarkan penindasan terhadap Achmadiyah, kaum Syia, Taman Eden dan kelompok-kelompok kepercayaan.”
Manifesto Gerindra tersebut bukan hanya bicara tentang Islam dan itu sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965, yang telah dikuatkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2010. Maknanya, perlindungan negara terhadap agama dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undang dan tidak diterapkan secara semena-mena. Sebab, kebebasan tidak boleh mengorbankan ketenteraman dan keamanan masyarakat, bangsa dan negara. Apalagi, umat Islam meyakini, Islam adalah agama wahyu (revealed religion), yang konsep aqidah dan ritualnya bersufat tetap, lintas zaman dan lintas budaya. Merusak ajaran Islam adalah kejahatan yang serius dalam agama Islam.
Penolakan Pastor Magnis terhadap Manifesto Gerindra tersebut, sepertinya merupakan kelanjutan dari sikap Gereja Katolik Indonesia, yang menolak keberadaan UU No 1/PNPS/1965, tentang penodaan agama. Pada sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 10 Februari 2010, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang merupakan induk kaum Katolik di Indonesia menyatakan, bahwa: “Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 yang mempidanakan setiap orang yang menyarankan keyakinan yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang resmi merupakan kriminalisasi terhadap agama. Dengan demikian merupakan ketentuan yang bersifat represif terhadap kebebasan beragama di setiap orang. Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara pun tidak dapat melakukan intervensi dalam hal ini termasuk melarang seseorang untuk menyuarakan keyakinan baik dalam bentuk penganut agama maupun tidak menganut agama.” (Teks dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi).
Ketika menjadi saksi ahli dari MUI di Mahkamah Konstitusi, dalam kasus gugatan terhadap UU No 1/PNPS/1965, saya sudah menulis makalah yang mengkritik pandangan KWI tersebut. Yang mencolok adalah sikap mendua Gereja Katolik. Di Indonesia, yang mayoritas Muslim, Gereja Katolik mendorong agar negara bersikap netral terhadap agama. Tetapi, di negara Vatikan, Paus diberikan wewenang untuk menjaga kemurnian agama Katolik. Beberapa dekade terakhir, sejumlah Teolog Katolik telah dipecat oleh Vatikan karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan Paus. Kasus terkenal, misalnya, menimpa Prof. Jacques Dupuis SJ, seorang sarjana di Gregorian University Roma, yang diberi sanksi menyusul penerbitan bukunya yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll, NY Orbis, 1997).
Pada bulan Oktober 1998, Prof. Dupuis mendapatkan notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman, Vatikan, yang menyatakan, bahwa ia “Tidak bisa dipandang sebagai seorang Teolog Katolik”. Surat ini ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI. Sebelum menjabat sebagai Paus, pada tahun 2004, juga masih mengeluarkan sanksi terhadap Roger Haight, seorang Yesuit Amerika, penulis buku Jesus Symbol of God, karena pandangan-pandangannya yang dianggap berbeda dengan ajaran pemuka Katolik. (Lihat, Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2009), hal. 74-75.; juga John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books, 2005), 193-194.).
Melalui institusi bernama Kongregasi untuk Ajaran Iman (Congregation pro Doctrina Fidei/CDF), Vatikan bertindak sangat aktif dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada sejumlah Teolog Katolik yang dinilai “menyimpang”. John McNeil, seorang Jesuit yang menulis buku The Church and the Homosexual, diselidiki oleh Vatikan, dan akhirnya dikeluarkan dari Serikat Jesus karena mengkritik dokumen Gereja tentang homoseksualitas, tahun 1986. Tindakan disipliner juga diberikan kepada sejumlah Teolog lainnya.
Secara aktif, CDF memeriksa karangan-karangan para teolog dan melihat apakah karya-karya mereka sesuai dengan ajaran moral Gereja. Jika tidak sesuai, maka perutusan kanoniknya (missio canonica) ditarik kembali dan dia dinyatakan tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengajar atas nama Gereja sebagai seorang Teolog Katolik. (Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, hal. 154).
Kasus lain yang menarik perhatian internasional, juga menimpa Prof. Hans Küng, seorang teolog Katolik terkenal asal Jerman. Akibat berbagai sikap kritisnya terhadap Vatikan, maka pada 15 Desember 1979, Vatikan pun mengeluarkan sebuah statemen: “In his writing, Professor Küng deviates from complete truth of the Catholic belief. For this reason he cannot be regarded as a Catholic theologian as such.” (Lihat, Peter Hebblethwaite, The New Inquisition? Schillebeeckx and Küng, (London: Fount Paperbacks, 1980), hal. 158-166).
Jika sebagai pemegang otoritas keagamaan dan politik Vatikan boleh menyatakan bahwa suatu ajaran atau seseorang “menyimpang” dari ajaran pokok agama Katolik, tentu umat Islam juga punya hak untuk menyatakan satu ajaran menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama Islam. Begitu juga agama-agama lainnya. Dan itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU No.1/PNPS/1965, atau yang tersurat dalam Manifesto Partai Gerindra. Dalam kehidupan berbangsa dan dalam rangka membangun hubungan yang lebih harmonis antar pemeluk agama di Indonesia, kurang patut jika KWI atau Franz Magnis justru berdiri pada kutub penyeru paham negara yang “netral agama” untuk Indonesia.
Usul agar Indonesia menjadi negara sekuler dengan mengubah Mukaddimah UUD 1945, misalnya, pernah diajukan oleh seorang Tokoh Katolik Dr. Soedjati Djiwandono, melalui artikelnya berjudul “Mukaddimah UUD 1945 tidak Sakral” di Harian Suara Pembaruan, 9 Februari 2004. Soedjati mengusulkan agar Indonesia secara terbuka menjadi dan mengaku sebagai sebuah “negara sekuler”.
Artikel Soedjati itu ditanggapi dengan sangat tajam oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, melalui sebuah artikelnya berjudul “Mukaddimah UUD 1945 Tidak Boleh Diganti!”. Franz Magnis menulis: “Lebih serius lagi, Soedjati mau membongkar salah satu tabu paling kental dalam politik Indonesia: ia menuntut agar Indonesia menjadi, dan mengaku menjadi, sebuah negara sekuler. Menurut saya, Soedjati di sini main api, dan itu terlalu mahal.” (Lihat, Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa, 2006:224-229).
Tapi, lagi-lagi, pastor Magnis juga tidak konsisten dengan sikapnya, ketika pada 10 Februari 2010 di Mahkamah Konstitusi, ia membuat pernyataan berikut ini: “Satu-satunya yang betul objektif atau yang benar itu hanya Tuhan sendiri. Lembaga yang merasa bisa menentukan mana yang objektif benar, menempatkan diri di tempat Tuhan alias memuja. Maka sekarang saya, kebebasan beragama, pertimbangan itu mau menunjukkan bahwa penilaian bahwa suatu ajaran penafsiran menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama tidak ada dalam kompetensi negara, itu ada dalam kompetensi agama yang bersangkutan. Apabila negara memakainya, negara itu melanggar kewajibannya untuk bersikap netral. Itu berarti juga bahwa tidak dapat dibenarkan suatu ajaran dilarang hanya karena dinilai menyimpang.”
Kita patut bertanya, ketika Paus memecat sejumlah Teolog Katolik karena dinilai menyimpang, apakah Paus juga “menempatkan diri di tempat Tuhan”? Apakah Paus juga bisa salah? Dalam sejarah, terbukti banyak sekali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan oleh Paus. (Lihat buku Sejarah Gelap Para Paus terbitan Pustaka Gramedia Jakarta. [juga /kolom/catatan-akhir-pekan/read/2011/03/22/3624/sejarah-gelap-para-paus.html).
Pada akhirnya, menghadapi Pilpres 2014 ini, seyogyanya kita semua menjaga ketenangan dan keharmonisan kita sebagai bangsa. Siapa pun pemenangnya. Kepada Pastor Franz Magnis-Suseno kita nasehatkan, kiranya lebih bisa menenangkan diri dan pikirannya; tidak bersikap paranoid terhadap Islam; tidak cinta atau benci secara berlebihan kepada para calon presiden! Sebagai muslim, sudah sepatutnya, saya pun mendoakan semoga Pak Magnis-Suseno diberi kesehatan dan suatu ketika nanti bersedia menerima hidayah Allah SWT. Yakinlah, jika Prabowo Subianto jadi Presiden RI, tidak mungkin Prabowo, PKS, PPP, atau FPI akan memaksa Pak Magnis untuk dikhitan! Jadi, tidak perlu khawatir, Romo! Assalaamu ‘alaa man ittaba’al huda!.*/Depok, 3 Juli 2014
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2014/07/03/24486/kritik-dan-nasehat-untuk-franz-magnis-suseno-atas-suratnya-tentang-prabowo.html#.U7X9utKNnKh
0 komentar:
Posting Komentar