Laki-laki kecil itu berusia sekitar 8 tahun. Tubuhnya kecil. Tapi dia tampan dan berkulit bersih. Dia mengenakan baju yang kelihatannya branded, hanya saja lusuh. Menggendong ransel dan memakai jam di tangan kanan. Meskipun ia bau matahari ada yang menarik dari dirinya. Matanya bersinar cerdas. Dan saya langsung jatuh cinta. Saat ia menyanyikan lagu dengan diiringi musik dari botol aqua kecil yang diisi dengan sedikit beras. Dia tak menyanyikan lagu dangdut atau lagu pop yang sedang ngetrend lainnya. Ia juga tidak menyanyikan lagu-lagu khas pengamen jalanan yang biasa dibawakan para pengamen. Ia menyanyikan lagu yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Sebuah lagu tentang keindahan alam yang tak lagi saya ingat syairnya. Dengan suara yang terlantun jernih, tidak fals.
Saat selesai satu lagu dan kami meminta tambahan lagu, dia langsung bernyanyi kembali tanpa membantah. Ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Ia tidak bersekolah karena tidak punya uang, tetapi ia belajar sama ayah, demikian jawabnya terhadap pertanyaan tentang sekolah.
Tiga hari kemudian saya masih selalu bertemu dengannya. Di arena peringatan Hari Anak Nasional di Taman Ismail Marzuki, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan saya menjadi salah satu panitianya. Setiap hari ia menghadiri pameran, ikut bermain dan berlomba di semua acara yang diselenggarakan secara gratis itu. Satu hal yang paling menarik perhatiannya adalah bazaar buku. Ada satu buku pengetahuan popular dengan gambar warna-warni yang sangat menarik perhatiannnya. Begitu ingin dia memiliki buku itu, tetapi sayang harga buku itu cukup mahal.
Akhirnya, dia hanya bisa memandangi dan membuka-buka, berlama-lama di depan stand sepanjang pameran berlangsung. Namun, ternyata Allah sayang padanya.
Pada hari terakhir, ada lomba spontanitas dengan hadiah buku-buku pengetahuan ppopular itu. Dan dia, lelaki kecil itu, memenangkannya. Sampai malam hari, saat kami berkemas, dia masih datang, membawa tas kresek berisi buku-buku. Dengan ceria dia bermain, bercerita dan bergaul tanpa takut. Menjawab setiap pertanyaan dengan lincah. Bahkan dengan bangga dia bercerita, kalau di rumah ia punya buku tentang Albert Einstein. Si kecil itu, Waliyan namanya
***
Azan isya baru saja berlalu. Kawasan Tanah Abang masih ramai saat saya menaiki PPD reguler 916. Masih ada dua sosok kecil, kotor, tak beralas kaki, dan bau yang menghuni bangku-bangku itu saat para penumpang masuk.
Sosok yang lebih besar, perempuan kecil berkuncir kuda, bangkit terlebih dahulu sambil membangunkan partnernya yang sepertinya adalah adiknya. Si cowok kecil bangun dengan malas, namun tidak punya pilihan lain selain berdiri dan bersiap ‘bekerja’ kembali.
Mereka minggir ke belakang, sambil tertawa-tawa. Ketika penumpang telah penuh, mereka segera beraksi. “Di Pondok keciiil, di atas bukit….” Syair itu mengalun cempreng dari mulut rambut merah itu. Si kecil bahkan berkali-kali terpejam, nampak sekali masih sangat ngantuk, namun tetap terus bernyanyi karena kakaknya menyenggolnya berulang kali. Matanya baru terbuka lebar, saat seorang penumpang mengangsurkan selembar lima ratu-an perak, yang segera ditunjukkannya dengan gembira pada kakaknya. Dia seakan belum pernah menerima uang ‘lima ratus perak’ ketika ngamen.
Saya ingin menanyai mereka tentang banyak hal, tapi situasi tak memungkinkan. Yang saya dengar dari percakapan mereka adalah, perbincangan dengan kata-kata yang cukup jorok dan selingan tentang makanan dan lain-lain. Tak ada tentang buku, sekolah, belajar dan sejenisnya.
***
Banyak hal yang membuat mereka sama. Pertama, mereka sama-sama bau matahari karena setiap hari mandi matahari. Kedua, mereka memiliki kepolosan dan potensi kecerdasan yang relatif sama.
Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan, untuk tetap menjaga keceriaan mereka. Menjaga fitrah dan kepolosan mereka. Mereka memang bukan siapa-siapa, tetapi insya Allah, mereka tidak tumbuh menjadi preman, kalau saja ada yang peduli.
Mungkin, kita bisa berkontribusi, setidaknya agar anak-anak berbau matahari itu bisa tetap belajar dan cinta buku, sebagai bekal masa depannya, seperti si kecil Waliyan. Mungkin mereka masih akan tetap berbau matahari tiap pagi, tapi semoga masih ada harapan, bau itu adalah bau yang sehat dan mendorong mereka ‘belajar’ tentang kehidupan dan menjadi lebih kuat, karena ada orang dewasa yang mengarahkan mereka dengan nilai-nilai yang mendidik.
sumber : eramuslim
Saat selesai satu lagu dan kami meminta tambahan lagu, dia langsung bernyanyi kembali tanpa membantah. Ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Ia tidak bersekolah karena tidak punya uang, tetapi ia belajar sama ayah, demikian jawabnya terhadap pertanyaan tentang sekolah.
Tiga hari kemudian saya masih selalu bertemu dengannya. Di arena peringatan Hari Anak Nasional di Taman Ismail Marzuki, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan saya menjadi salah satu panitianya. Setiap hari ia menghadiri pameran, ikut bermain dan berlomba di semua acara yang diselenggarakan secara gratis itu. Satu hal yang paling menarik perhatiannya adalah bazaar buku. Ada satu buku pengetahuan popular dengan gambar warna-warni yang sangat menarik perhatiannnya. Begitu ingin dia memiliki buku itu, tetapi sayang harga buku itu cukup mahal.
Akhirnya, dia hanya bisa memandangi dan membuka-buka, berlama-lama di depan stand sepanjang pameran berlangsung. Namun, ternyata Allah sayang padanya.
Pada hari terakhir, ada lomba spontanitas dengan hadiah buku-buku pengetahuan ppopular itu. Dan dia, lelaki kecil itu, memenangkannya. Sampai malam hari, saat kami berkemas, dia masih datang, membawa tas kresek berisi buku-buku. Dengan ceria dia bermain, bercerita dan bergaul tanpa takut. Menjawab setiap pertanyaan dengan lincah. Bahkan dengan bangga dia bercerita, kalau di rumah ia punya buku tentang Albert Einstein. Si kecil itu, Waliyan namanya
***
Azan isya baru saja berlalu. Kawasan Tanah Abang masih ramai saat saya menaiki PPD reguler 916. Masih ada dua sosok kecil, kotor, tak beralas kaki, dan bau yang menghuni bangku-bangku itu saat para penumpang masuk.
Sosok yang lebih besar, perempuan kecil berkuncir kuda, bangkit terlebih dahulu sambil membangunkan partnernya yang sepertinya adalah adiknya. Si cowok kecil bangun dengan malas, namun tidak punya pilihan lain selain berdiri dan bersiap ‘bekerja’ kembali.
Mereka minggir ke belakang, sambil tertawa-tawa. Ketika penumpang telah penuh, mereka segera beraksi. “Di Pondok keciiil, di atas bukit….” Syair itu mengalun cempreng dari mulut rambut merah itu. Si kecil bahkan berkali-kali terpejam, nampak sekali masih sangat ngantuk, namun tetap terus bernyanyi karena kakaknya menyenggolnya berulang kali. Matanya baru terbuka lebar, saat seorang penumpang mengangsurkan selembar lima ratu-an perak, yang segera ditunjukkannya dengan gembira pada kakaknya. Dia seakan belum pernah menerima uang ‘lima ratus perak’ ketika ngamen.
Saya ingin menanyai mereka tentang banyak hal, tapi situasi tak memungkinkan. Yang saya dengar dari percakapan mereka adalah, perbincangan dengan kata-kata yang cukup jorok dan selingan tentang makanan dan lain-lain. Tak ada tentang buku, sekolah, belajar dan sejenisnya.
***
Banyak hal yang membuat mereka sama. Pertama, mereka sama-sama bau matahari karena setiap hari mandi matahari. Kedua, mereka memiliki kepolosan dan potensi kecerdasan yang relatif sama.
Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan, untuk tetap menjaga keceriaan mereka. Menjaga fitrah dan kepolosan mereka. Mereka memang bukan siapa-siapa, tetapi insya Allah, mereka tidak tumbuh menjadi preman, kalau saja ada yang peduli.
Mungkin, kita bisa berkontribusi, setidaknya agar anak-anak berbau matahari itu bisa tetap belajar dan cinta buku, sebagai bekal masa depannya, seperti si kecil Waliyan. Mungkin mereka masih akan tetap berbau matahari tiap pagi, tapi semoga masih ada harapan, bau itu adalah bau yang sehat dan mendorong mereka ‘belajar’ tentang kehidupan dan menjadi lebih kuat, karena ada orang dewasa yang mengarahkan mereka dengan nilai-nilai yang mendidik.
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar