BARU baru ini kembali hangat diberitakan media tentang nasib minoritas muslim di Bali. Kasus kepala sekolah salah satu SMP di Bali melarang siswi yang muslimahnya memakai kerudung, setelah ditelaah ternyata pelarangan kerudung ini sudah lama terjadi di seluruh Bali dan didukung pula oleh kepala dinas pendidikan provinsi Bali.
Alasan pelarangan ini karena pihak sekolah ingin menyeragamakan penampilan siswi didiknya. Padahal kita tahu kerudung bukan hanya sekedar aksesoris bagi umat muslim. Kerudung adalah salah satu kewajiban bagi setiap muslimah yang baligh seperti wajibnya solat, maka pelarangan memakai kerudung bukan hanya melarang muslimah menampakan atributnya, namun telah menghalanginya menjalankan ibadah kepada Allah.
Kasus serupa, Aliansi Hindu Muda Bali berdemo terkait dengan kebijakan PT Jasamarga Bali Tol (JBT) yang menghimbau kepada petugasnya agar mengenakan kerudung dan peci. menurut aliansi yang terdiri dari Cakrawahyu, Yayasan Satu Hati Ngrestiti Bali, Yayasan Jaringan Hindu Nusantara dan Pusat Kooordinasi Hindu Nusantar ini, hal tersebut merupakan ancaman bagi citra Bali yang terkenal dengan pulau dewata dan telah merusak kebudayaan masyarakat setempat, khususnya Hindu di Bali.
Alasan lainnya adalah mereka menganggap dengan adanya kebijakan tersebut walaupun hanya 1 bulan ramadhan, PT Jasamarga Tol telah melukai perasaan mayoritas umat Hindu Bali.
Begitupun nasib Bank Syariah di Bali yang mulai menjamur, kembali Aliansi Muda Bali berdemo menolak pendirian Bank Syariah tersebut. Menurut aliansi tersebut, adanya Bank Syariah di Bali memicu SARA. hanya karena ada kata-kata ‘syariah’ yang islami maka keberadaanya ditolak. Ada apa dengan Bali?
Indonesia adalah negeri dengan jumlah penduduk muslim tertinggi didunia. Jumlah penduduk muslimnya mencapai 87 % dari total penduduk Indonesia, sehingga Islam menjadi agama mayoritas di tanah air. Berbeda dengan pulau Bali, agama islam justru menjadi agama minoritas disana, hanya 13 % dari total penduduk Bali yang memeluk agama Islam. Namun, apakah hal ini bisa menjadi legitimasi atas ketidakadilan terhadap kaum minoritas?
Bukan hanya di Bali, umat muslim minoritas di Eropa dan AS pun sama, mereka menjadi bulan-bulanan kampanye Islamphobia. Seringkali para muslimahnya dijambak kerudungnya hingga auratnya terbuka. lalu kita lihat pembantaian kaum muslim Rohingya di Myanmar, darah kaum muslim seolah-olah tidak ada harganya. begitu pun di China, muslim Uighur dilarang berpuasa pada bulan Ramadhan, bahkan mengajak anak-anak ke masjid adalah tindakan kriminal yang melanggar hukum.
Begitulah realitas hidup dibawah sistem demokrasi. Dalam alam demokrasi yang aturannya terbentuk oleh suara mayoritas, hal diatas menjadi sah sah saja. Bahwa kaum minoritas harus mengelus dada karena hak nya terampas adalah hal yang biasa. Inilah bukti bahwa demokrasi lah yang melegalkan kepala sekolah melarang muridnya untuk beribadah. Inilah bukti bahwa dalam demokrasi terjadi tirani minoritas atas mayoritas. Ketika kaum muslimin menjadi minoritas, mereka terlarang untuk melaksanakan ketaatan terhadap Allah SWT bahkan untuk sekedar menutup aurat dengan alasan kita harus menghormati ketetapan dan aturan yang diterapkan oleh mayoritas. sesuai dengan slogan spanduk yang dibawa oleh aliansi hindu bali ‘dimana bumi dipijak, disana langit dijungjung’.
Namun apa yang terjadi ketika muslim yang menjadi mayoritas? atas nama HAM (memberi hak pada minoritas untuk berbeda) muslim terlarang untuk menerapkan Islam secara kaffah. Inilah bukti kebohongan kebebasan yang diusung demokrasi, kebebasan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT dilarang, tapi kebebasan untuk mengingkari aturan Allah SWT difasilitasi.
HAM dan Demokrasi
Konsep HAM (hak asasi manusia) sendiri lahir dari faham ideologi kapitalis yang berasaskan sekulerisme (pemisahan agama dengan kehidupan), oleh karena itu ide tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kebebasan yang mereka usung, adalah kebebasan yang tidak bersandar pada syariat. Ide HAM sendiri akan tumbuh subur dalam alam demokrasi yang mengesampingkan Allah sebagai pencipta aturan.
Jika kita telaah lebih dalam, kita akan menemukan kerancuan konsep HAM yang digaung gaungkan oleh orang-orang liberal ini. Ide ini tidak memiliki standar untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga pada prakteknya akan mendeskriditkan salah satu pihak dan menjadi alat pembenaran pihak lain.
Contohnya, Hak asasi manusia dalam beragama, tidak ada satu pun aktvis HAM yang bersuara bahwa pelarangan siswi berhijab di Bali adalah pelanggaran HAM? jadi apa artinya bebas beragama? konsep ini bebas beragama ini juga bias, lihat saja di Amerika sendiri sebagai negara pengusung ide kapitalis, disana kerap terjadi diskriminasi pada muslim, tidak jarang muslimahnya di jambak kerudungnya sampai tampak auratnya. Disana pun terjadi pelarangan terhadap salah satu sekte yang mengajak jemaahnya untuk bunuh diri masal. Padahal jika bebas beragama harusnya tidak dilarang. begitu pun di Indonesia, hanya ada 6 agama resmi, diluar itu tidak diakui. Inilah bukti rancunya ide HAM. Satu sisi membatasi jumlah agama resmi, sisi lainya ajaran Ahmadiyah yang mengaku islam yang sudah jelas kesesatannya di bela atas dasar HAM.
HAM, ide yang tidak mempunyai konsep dan pandangan hidup yang jelas. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa HAM hanyalah sebuah ide yang bias, rancu dan tidak konsisten. ia hanya sebuah alat yang ditanamkan oleh ideologi kapitalis agar umat islam jauh dari ajaran agamanya.
Bagaimana konsep islam mengatur kaum minoritas? sesungguhnya konsep islam sangat bertolak belakang dengan konsep HAM. Dalam islam tidak dikenal istilah kaum minoritas. Siapa pun yang hidup dibawah negara Islam mempunyai hak dan kewajiba yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Non muslim dibiarkan untuk tetap hidup berpegang pada agamanya, serta beribadah sesuai ajaran agamanya masing masing. Karena sesungguhnya Allah berfirman dalam surat al baqoroh ayat 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat,” (Al- Baqoroh ayat 256)
Sungguh jelaslah sudah bagaimana Islam mampu mengatur seluruh problematika manusia. Jika saja aturan Islam diterapkan di Bumi Allah ini niscaya kerukunan akan nampak nyata. Saatnya meninggalkan demokrasi yang penuh ilusi untuk hidup yang penuh rahmatan lil alamin.
Oleh: Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si, Aktivis Muslimah HIzbut Tahrir
http://www.islampos.com/ada-apa-dengan-bali-130489/
0 komentar:
Posting Komentar